Perbaikan regulasi dan aturan di bidang pengelolaan sumberdaya
perikanan menjadi fokus KKP. Perizinan di bidang usaha perikanan harus selaras
dengan upaya mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggungjawab dan
berkelanjutan. Bukan hanya pada sub sektor perikanan
tangkap, KKP juga menyoroti mekanisme ekspor ikan hidup hasil budidaya
yang memiliki celah manipulatif, mencampur hasil budidaya dengan hasil tangkap illegal
melalui mekanisme transhipment kapal di tengah laut.
Transhipment sebagaimana fakta yang terjadi, sangat berpeluang menjadi
sarana tindakan illegal seperti penyelundupan barang-barang terlarang serta
sumberdaya ikan yang dilindungi dan bernilai ekonomis tinggi. Di samping itu,
terlalu terbukanya aksesibilitas kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing
yang secara bebas menjangkau wilayahwilayah perairan untuk melakukan pembelian secara
langsung di lokasi onfarm budidaya laut, dikhawatirkan menggangu kedaulatan perairan NKRI dan melanggar azas cabotage yang terafikasi oleh semua
negara maritim Asia Pacific termasuk China dan Hongkong.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk kepentingan nasional, KKP
menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15/PERMEN-KP/2016
tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 32/ PERMEN-KP/2016. Peraturan ini sebagai bentuk
implementasi dan tanggungjawab pemerintah dalam memperbaiki tata kelola perizinan
di bidang usaha pembudidayaan ikan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Usaha pengangkutan ikan hidup hasil pembudidayaan ikan adalah kegiatan
yang secara khusus mengangkut ikan hidup hasil budidaya dengan menggunakan
kapal pengangkut ikan untuk memuat, mengangkut, menyimpan, dan/atau menangani
ikan hidup hasil pembudidayaan ikan serta mengangkut sarana produksi
pembudidayaan ikan.
Ada dua jenis usaha pengangkutan ikan hidup, pertama, usaha
pengangkutan ikan hidup dalam negeri yaitu merupakan usaha pengangkutan ikan
dari lokasi usaha pembudidayaan ikan di laut dan/atau sentra nelayan ke
pelabuhan muat singgah dan/atau pelabuhan tujuan dan hanya dapat dilakukan oleh
kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan awak kapal yang berkewarganegaraan
Indonesia.
Kedua, usaha pengangkutan ikan hidup ke luar negeri, yaitu merupakan
usaha pengangkutan ikan dari lokasi usaha pembudidayaan ikan di laut, dan/atau pelabuhan
muat singgah ke pelabuhan tujuan di luar negeri untuk kapal pengangkut ikan hidup
berbendera Indonesia; dan pelabuhan muat singgah ke pelabuhan tujuan di luar negeri
untuk kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing.
Secara garis besar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut
mengatur tentang ketentuan dan mekanisme penerbitan surat izin kapal pengangkut
Ikan atau biasa disebut SIKPI dan ketentuan yang terkait dengan pelabuhan muat
singgah.
Dalam pasal 4 ayat (2) poin (b) Permen-KP 15/2016, disebutkan “bahwa
kapal yang digunakan untuk usaha pengangkutan ikan hidup dibatasi paling besar
500 (lima ratus) GT, untuk kapal pengangkut ikan hidup dari hasil pembudidayaan
ikan”. Sedangkan pada ayat (3) poin (a), (b) dan (c) disebutkan
bahwa “SIKPI sebagaimana dimaksud, terdiri atas: “(a) SIKPI–I-PB, untuk
kapal pengangkut ikan hidup berbendera Indonesia dari hasil pembudidayaan
ikan; (b) SIKPI–IPT, untuk kapal pengangkut ikan hidup yang pembuatannya
dilakukan di dalam negeri dan berbendera Indonesia dari hasil penangkapan ikan;
dan (c) SIKPI–A-PB, untuk kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing dari hasil
pembudidayaan ikan.”
Sesuai kewenangannya, penerbitan SIKPI hasil pembudidayaan Ikan untuk
kapal berukuran di atas 30 gross ton (GT) sampai dengan 500 GT asing dan dalam
negeri diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya sedangkan untuk
kapal berukuran 5 GT – 30 GT serta tidak menggunakan modal asing diterbitkan
oleh provinsi. Demikian juga bagi pembudidaya ikan kecil yang menggunakan kapal
pengangkut ikan hidup paling banyak 1 (satu) unit dengan ukuran paling besar 5
GT hanya wajib memiliki Tanda Pencatatan Kapal Pengangkut Ikan Hidup (TPKPIH)
sebagai pengganti SIKPI.
Sedangkan pasal 7 ayat (2) dan (4) Permen- KP 15/2016 mengatur tentang
pelabuhan muat singgah. Setiap kapal pengangkut ikan hidup hasil pembudidayaan
yang digunakan untuk usaha pengangkutan ikan tujuan ekspor wajib melalui
Pelabuhan Muat Singgah.
Untuk itu, berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya
Nomor 54/ KEP-DJPB/2016, telah ditetapkan 181 (seratus delapan puluh satu)
pelabuhan Muat Singgah Kapal pengangkut ikan hidup untuk tujuan luar negeri.
Untuk kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing hanya diizinkan memiliki 4
(empat) pelabuhan muat singgah dengan ketentuan hanya dapat memuat ikan hidup
di 1 (satu) pelabuhan muat singgah setiap kali masuk Indonesia dan paling
banyak 12 (dua belas) kali dalam setahun. Beberapa pelabuhan muat singgah yang
telah digunakan dan potensial untuk mendukung ekspor ikan hidup hasil
pembudidayaan antara lain Pulau Siuncal Lampung, Belitung, Natuna, Anambas,
Bali, Belawan dan lainnya. Komoditas ikan hidup yang menjadi primadona untuk
diekspor adalah kerapu dan napoleon. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan
Perikanan, volume produksi budidaya ikan kerapu pada tahun 2015 mencapai 16.795
ton dengan nilai produksi sebesar Rp 1,69 triliun, atau naik 20,5 persen dari tahun sebelumnya
yang sebanyak 13.346 ton. Data Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan bahwa
Indonesia menempati urutan ke tiga dunia sebagai produsen kerapu hasil
budidaya, sementara China masih mendominasi pada urutan teratas dengan produksi mencapai 100.006 ton atau menguasai sekitar 64,82
persen total produksi kerapu dunia yang mencapai 154.281 ton (Fishstat FAO,
2016). Namun, Indonesia merupakan pengekspor kerapu hidup terbesar di dunia
dengan tujuan utama ke Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Ekspor ikan kerapu ke
Hongkong selama ini dilakukan melalui dua moda transportasi, yakni angkutan udara
dan kapal pengangkut ikan laut. Kapal pengangkut ke Hongkong yang selama ini beroperasi
di Indonesia 100 persen adalah milik buyer Hongkong.
Sebelum adanya pengaturan kapal pengangkut ikan hidup, kapal-kapal dari
Hongkong dengan bebasnya singgah dari satu sentra budidaya kerapu ke sentra budidaya
kerapu lainnya di Indonesia.
Kemudian mereka langsung membawa ikanikan kerapu hidup itu ke Hongkong
tanpa otoritas mengetahui berapa volume ikan yang diangkut. Akibatnya,
pemerintah banyak kehilangan potensi penerimaan dari budidaya kerapu. Mahalnya harga kerapu hidup tanpa cacat yang bisa mencapai Rp 1,2 juta
per kg di pasar Hongkong, akhirnya mendorong masyarakat berburu kerapu alam
untuk dipelihara ataupun langsung dijual. Sayangnya, untuk mendapatkan kerapu
hidup tanpa cacat, banyak orang menggunakan bius sianida.
Padahal, penggunaan sianida dapat merusak terumbu karang yang menjadi
habitat dan tempat reproduksi ikan kerapu sendiri.
Penangkapan kerapu alam makin menjadijadi karena belum semua jenis
kerapu sukses dibenihkan. Spesies kerapu seperti kerapu sunu merah dan totol
biru dan napoleon merupakan sebagian jenis kerapu yang masih rendah
keberhasilan pembenihannya secara teknis dan komersil. Dengan pengaturan kapal angkut
ikan dan penataan asal usul benih ikan, pengangkutan ikan kerapu sunu hidup dan
napoleon dapat diawasi oleh pelabuhan perikanan setempat. Dengan demikian dapat
terdeteksi mana kerapu hasil budidaya murni dan kerapu alam yang ditangkap menggunakan
bius sianida.
sumber:
LAUT MASA DEPAN BANGSA
Kedaulatan, Keberlanjutan, Kesejahteraan
0 komentar:
Post a Comment